Ada pameo, orangtua yang
mempunyai putri usia remaja itu ibarat berjalan sambil membawa gelas berisi
air. Harus hati-hati dan waspada, jangan sampai airnya tumpah, apalagi gelasnya
jatuh dan pecah. Artinya, menjaga dan mengantar anak perempuan untuk sampai
pada tujuan akhir yang ideal (sebuah jenjang pernikahan, setelah bekal
pendidikan dan ketrampilan terpenuhi) tidaklah mudah. Penuh liku dan strategi
jitu agar tidak 'gagal' di tengah jalan.
Bisa jadi 'teori' itu benar. Saya
sendiri bisa menjadi contoh konkrit. Saat ini putri saya menginjak usia 17
tahun, duduk di bangku SMA kelas 3, berperawakan langsing dengan tinggi badan
170 cm dan cantik. Kata orang-orang mirip bundanya, bukan ayahnya. Dan saya
setuju. Nah, urusan membekali pendidikan formal di sekolah dan budi pekerti di
rumah, mungkin hal normatif, bagi saya tidak ada masalah.
Tapi ketika menghadapi masalah
dunia remaja (baca: pacaran), ini yang harus hati-hati. Di jaman yang serba
canggih, pola pendekatan -- dari teman-temannya yang naksir --terhadap putri
saya tidak lagi melalui surat atau datang apel ke rumah seperti jaman saya di
tahun 90-an. Sekarang bisa melalui sosial media yang bejibun jumlahnya, sebagai
media pemikat.
Bahkan, pendekatan langsung
dengan saya pun bukan hal tabu bagi teman sekolahnya -- sebagian malah menjadi
teman saya di media sosial Path, Twitter, Line, Whatsapp & BBM, yang entah
darimana mereka dapat akun saya -- demi memikat putri saya. Belum lagi teman
sekerja, organisasi dan aktivitas sosial saya lainnya (tentunya yang muda-muda
dan masih bujangan) yang juga 'ikut berlomba' untuk jadi calon menantu, dengan
cara menarik simpati saya.
Artinya apa? Saya harus bersikap
bijak, tidak intervensi tapi juga tidak melakukan pembiaran. Memberikan
tanggung jawab dan pemahaman -- pentingnya mengisi masa remajanya dengan hal
positif, sekaligus menyusun masa depan yang baik -- pada putri saya, jauh lebih
penting daripada melakukan 'seleksi' pada mereka yang terpikat pada putri saya.
Ini bukan jaman 'Siti Nurbaya' yang peran orangtua sangat besar pada penentuan
'nasib' anaknya, sebaliknya saya juga bukan pengikut gaya liberal yang memberi
kebebasan penuh pada anak. Memberikan kesempatan pada anak untuk menentukan
arah masa depannya, dengan bimbingan dan pengawasan yang dipandang perlu,
mungkin itu solusi terbaik.
Lantas apa hubungannya dengan
Surabaya, yang kini dipimpin Walikota perempuan pertama -- Ibu Risma Triharini
-- peraih 51 penghargaan atas prestasi membangun Surabaya ini? Dalam konteks
berbeda, ada persamaan dengan kasus diatas, yaitu sebagai Walikota di kota yang
memiliki 2,8 juta penduduk, Ibu Risma mempunyai kebebasan dalam menentukan arah
kebijakan dalam membangun kota Surabaya.
Namun demikian, Bu Risma yang
dalam lima tahun terakhir ini berhasil 'menyulap' Surabaya menjadi kota
metropolitan yang bersih, tertib dan indah -- karena penuh taman, dari
pinggiran sampai tengah kota -- tetap mematuhi koridor aturan yang ditetapkan
oleh DPRD maupun pemerintah pusat (sebagai 'orangtua'nya). Sifat keras yang
ditunjukkan Bu Risma (sebagai 'anak') selama ini bukanlah pembangkangan, tetapi
bentuk dari mempertahankan sikap.
Dalam kasus yang ada, Bu Risma
akan 'melawan' jika kebijakan yang dianggapnya benar justru diusik oleh pihak
lain, seperti kasus penutupan dolly
misalnya. Pun demikian Bu Risma pernah 'mengancam' mundur ketika hal yang
dianggapnya tidak sesuai prosedur dipaksakan untuk diterapkan pada
penerintahannya. Itulah sebabnya Surabaya bukan lagi dikenal sebagai kota
buaya, jembatan merah atau rujak cingur semata, tetapi dunia mengenalnya
sebagai 'City of Surabaya' karena
prestasi Walikota-nya yang mendunia.
Satu benang merah yang bisa
ditarik, ketika kebebasan -- yang bertanggung jawab -- diberikan sepenuhnya,
disertai pengawasan yang tidak memaksakan kehendak, maka hasilnya akan
maksimal. Entah itu dalam konteks 'anak remaja' atau seorang 'walikota'
sekalipun, hasilnya (akan) tetap sama baiknya. Perlu bukti lagi?
0 komentar:
Posting Komentar