Tergelitik juga untuk
(segera) membuat ulasan dari salah satu 'Surat Pembaca' harian Kompas, edisi
Kamis (27/8/2015). Bukannya apa, surat yang berjudul 'Warga Liar' itu unik,
terutama cara penulisan kalimat yang panjang -- tanpa tanda jedah -- yang bisa
membuat kehabisan nafas siapapun, saat membacanya. Meski demikian, bukannya
ingin berhenti. Makin panjang kalimat, makin kita dibuat penasaran untuk terus
membaca, sampai titik.
Lebih unik lagi ketika
di akhir surat, kita dengan jelas membaca (siapa) penulisnya. Meski disitu
hanya ditulis: Jaya Suprana, Jakarta Selatan. Tanpa alamat lengkap, layaknya
dua penulis surat pembaca lain, yang ada di rubrik 'Surat Kepada Redaksi'
tersebut.
Ya, meski di Jakarta
Selatan bisa jadi banyak nama Jaya Suprana, saya haqul yakin penulis surat itu
adalah Om Jaya Suprana yang 'juragan jamu' dan pendiri Museum MURI Indonesia.
Saya melihat, dari ciri kalimat yang panjang dan gaya bahasa 'sambung
menyambung menjadi satu' itu, adalah trademark-nya Om Jaya, salah seorang idola
saya. Cerdas dan terkesan jenaka. Persis sama gayanya -- yang saya sudah hafal
diluar kepala -- saat Om Jaya memandu acara talk show di televisi, atau body
language beliau saat memainkan piano.
Oh hiya, dalam surat
pembaca tersebut, Om Jaya merasa prihatin dengan penggusuran warga di Kampung
Pulo (Jakarta Timur) beberapa hari lalu, untuk keperluan normalisasi sungai
Ciliwung. Lebih prihatin lagi -- begitu Om Jaya menulis -- adalah penggunaan
istilah 'warga liar' bagi masyarakat yang dianggap tidak sah bermukim di
sepanjang bantaran sungai itu. Karena, secara prinsip kata 'liar' lebih layak
digunakan untuk hewan atau binatang, ketimbang manusia. Tidak main-main, untuk
mencari arti kata 'liar', Om Jaya harus membuka Kamus Besar Bahasa Indonesia
(KBBI).
Singkat cerita, meski
berisiko untuk dicemooh, dicaci maki, dihujat dan di bully -- oleh para
penggusur dan pendukungnya -- Om Jaya tetap memohon kepada pihak penguasa untuk
tidak lagi menggunakan istilah 'warga liar' bagi segenap warga bangsa dan
negara Indonesia. Juga, memohon agar warga Kampung Pulo atau siapapun yang
senasib dan kebetulan hidup dalam kemiskinan, agar tidak diperlakukan (seolah-olah)
musuh negara.
Begitu saja? Untuk
surat pembaca Om Jaya Suprana di harian Kompas, intinya memang itu saja. Namun,
menurut saya, masih ada dua hal yang patut dibahas lebih lanjut. Pertama,
kemampuan pakar 'kelirumologi' -- begitu Om Jaya sering dijuluki -- ini dalam
meramu sebuah kalimat panjang tanpa tanda baca jedah sejenak (baca: koma), tapi
tetap bisa bikin senyum pembacanya.
Agak aneh, mau dibilang
jenaka, nyatanya semua kalimat panjang itu bernada serius. Tapi, begitu kita
membacanya, pasti tersenyum (seolah) ada yang lucu. Saya kira, ini adalah
sebuah teknik dan kemampuan menulis tingkat 'tinggi' yang hanya dimiliki Om
Jaya Suprana.
Kedua, pemakaian Kamus
Besar Bahasa Indonesia (KBBI) untuk -- referensi dasar -- memperkuat sebuah
tulisan. Dalam konteks tulisan Om Jaya, memang mutlak harus memakai referensi
kamus, karena berhubungan dengan 'inti' keseluruhan surat. Tapi, secara umum,
menurut hemat saya pemakaian KBBI dalam 'memperkuat' pemakaian kata dalam
sebuah tulisan, tetap diperlukan. Tak perduli sebuah tulisan ilmiah, fiksi,
atau pun tulisan ringan macam 'Secangkir Teh' ini.
Saya termasuk yang
fanatik menggunakan KBBI, selain kamus Bahasa Inggris, dalam membuat tulisan.
Terutama untuk crossceck arti sebuah kata serapan bahasa Indonesia, meski sudah
umum digunakan dalam keseharian, seperti: provokatif, hirarki, kontroversial,
harfiah, dll. Karena, saya tidak ingin pembaca menemukan kata yang tidak pada
tempatnya, di tulisan-tulisan saya.
Bagi saya, ini adalah
bagian tanggung jawab (seorang) penulis untuk menggunakan kata -- dalam bahasa
Indonesia -- dengan baik dan benar. Sehingga, selain pembaca mendapatkan sajian
tulisan ringan yang enak dibaca, secara tidak langsung pembaca juga 'belajar'
menyusun kalimat dengan kata yang benar. Setuju?
0 komentar:
Posting Komentar