Kalau kebetulan saat
ini anda sudah menyandang status sebagai orangtua -- sudah menikah dan
mempunyai putra atau putri -- coba ingat-ingat, pernahkan dalam memberi nasehat
anak, yang susah disuruh belajar, terselip kata-kata "Dulu.., saat Ayah
(Bunda) masih seusiamu, untuk belajar tidak pernah disuruh-suruh, tidak seperti
kamu sekarang. Dulu, begitu pulang sekolah... bla... bla... bla... dst."
Atau, kalau belum pun, setidaknya anda pernah mendengar seperti itu, kan?
Sabar.., saya tidak
akan 'ceramah' atau menulis artikel seperti layaknya pakar psikologi, apalagi
'menggurui' anda semua tentang cara mendidik anak. Karena, saya yakin anda
pasti sudah lebih pintar. Ilustrasi diatas, sengaja saya apungkan untuk
menggiring fikiran ke arah yang sama, bahwa (ternyata) di sekitar kita masih
banyak yang memberi nasehat anak dengan cara 'berlindung' ke masa lalu.
Begini, agar bisa lebih
menghayati, ada contoh lagi yang lebih spesifik, seperti ini: Ketika anak saya
yang kelas 4 SD susah disuruh belajar, meski sudah saya beritahu berulangkali
secara baik-baik -- maunya tuh main komputer atau nonton televisi -- maka yang
muncul adalah rasa jengkel. Dan keluarlah kalimat 'normatif' seperti diatas.
Bahwa dulu ketika saya seusianya, belajar itu otomatis, tidak perlu disuruh dan
dipaksa orangtua. Habis mengaji di musholla, makan malam, langsung belajar.
Bahkan, saya tambah cerita, karena kebiasaan itu makanya saya pintar dan juara
kelas.
Tujuannya jelas,
memberi motivasi anak -- mencontohkan diri kita sebagai sosok penurut, rajin
dan pintar -- dengan harapan agar anak mau meniru dan mengikuti jejak kita,
belajar dengan kesadaran sendiri. Ternyata, metode itu tak sepenuhnya manjur
dan mengena untuk anak-anak jaman sekarang. Bahkan malah membuat anak semakin
'tertekan' dan malas. Koq bisa?
Dari beberapa literatur
yang pernah saya baca, ada perbedaan kondisi yang signifikan, antara jaman dulu
-- setidaknya 30 atau 40 tahun silam, saat kita masih kecil -- dengan era saat
ini, yang sudah 'dikuasai' teknologi. Jaman dulu, kita bisa mengatur waktu
bermain dan belajar dengan baik, karena belum ada banyak (stasiun) televisi,
belum ada komputer dan warnet, belum mengenal gadget dan rental play station.
Bandingkan dengan fasilitas jaman sekarang, jaman anak-anak yang dikelilingi
produk teknologi canggih. Itu berpengaruh pada pola pikir anak.
Adanya perbedaan yang
mencolok itu, menjadikan nasehat 'perbandingan' jadi kurang relevan lagi.
Ternyata, anak-anak sulit membayangkan dengan baik, kondisi macam apa yang ada
di jaman orangtuanya. Sebaliknya, sifat kritis dan daya nalar anak-anak
sekarang jauh lebih berkembang, dibanding jaman kita dulu, yang lebih patuh --
dan menerima tanpa syarat -- pada nasehat dan perintah orang tua.
Artinya, bukannya
anak-anak sekarang tidak penurut, tetapi harus ada penjelasan lanjutan dari
setiap nasehat atau perintah yang kita berikan pada mereka. Hal yang cukup
logis, karena anak-anak juga menyerap informasi (lain) dari teknologi yang ada,
selain dari aturan normatif yang kita terapkan di rumah. Sehingga, kita -- para
orangtua -- harus siap secara bijak untuk memberikan penjelasan logis, sebagai
penjabaran dari apa yang kita sampaikan, baik berupa nasehat maupun perintah. Ternyata
ini lebih bisa diterima logika anak-anak, dibanding dengan sekedar memberikan
'perbandingan' masa lalu.
Demikian juga ketika
kita memberi motivasi dengan mecontohkan keberhasilan studi kita di masa lalu
-- anak yang pandai, selalu mendapat rangking & juara kelas -- nyatanya
(mayoritas) anak-anak justeru menganggap ini sebagai 'tekanan' yang malah
menjadikan demotivasi, ketika merasa tidak sanggup menyaingi dan menenuhi
harapan orang tuanya.
Lagi-lagi, seperti
biasa, tulisan ini tidak akan memberikan kesimpulan. Kecuali, saya hanya
mengajak anda sekalian -- para orangtua -- untuk lebih bijaksana dalam mendidik
anak, tidak ego dan merasa paling benar. Tak ada yang menginginkan (kelak)
anak-anak kita jadi 'robot' bukan?
0 komentar:
Posting Komentar