Malam belum beranjak larut,
sekitar jam 22.30, ketika Gepeng -- asisten sekaligus teman saya yang sangat
loyal -- dengan wajah galaunya berucap, "Benar kata Pak Prie, sampai
sekarang Novi belum mau diajak ketemuan juga, alasannya banyak," katanya,
sambil tetap memainkan hp android buatan lokal kesayangannya di kursi pojok
ruangan. Menemani saya menulis, sekaligus standby jika sewaktu-waktu saya perlu
tambahan susu coklat hangat atau indomie rebus plus telor setengah matang.
Kegalauan Gepeng berawal dari
perkenalannya dengan cewek -- tepatnya perempuan paruh baya usia 30-an -- di
media sosial pertemanan wechat. Sebagai laki-laki kurang beruntung dalam
membina rumah tangga, Gepeng mencoba cari calon pendamping hidup via dunia maya
seperti layaknya yang saat ini lagi trend di negeri ini. Sayangnya, dengan
tingkat pendidikan yang tidak terlalu tinggi (Gepeng hanya lulusan SMP) dan
dengan pengetahuan dunia internet yang ala kadarnya, dia tidak memahami
bentuk-bentuk 'semu' yang ada di dunia maya dalam bingkai sosial media tersebut.
Termasuk foto-foto cantik nan menawan yang banyak bertebaran didalamnya, yang
masih diragukan kebenaran 'wajah' aslinya.
Dari awal perkenalan dengan
incarannya yang bernama Novi itu, Gepeng selalu 'konsultasi' dan melaporkan
perkembangannya pada saya. Termasuk menunjukkan beberapa foto Novi yang dikirim
melalui whatsapp. Sekilas foto berjumlah 6 buah itu bukan 'wajah asli' karena
nampak sudah melalui proses foto editing, yang aplikasinya sudah banyak
tersedia di hp. Saat itu pun sempat saya bilang, "Peng, sebelum kamu
kecewa, cepat ajak ketemuan cewek idamanmu itu. Mending lihat dulu aslinya
daripada percaya hanya lewat foto seperti itu," saran saya pada Gepeng,
yang usianya hampir 30 tahun itu.
Saya tidak akan cerita kelanjutan
Gepeng yang galau ini. Tetapi saya justeru tertarik dengan menggejalanya --
atau sudah boleh disebut fenomena? -- kecenderungan memotret diri sendiri
dengan hp pada masyakarat, yang kemudian diunggah ke media sosial, baik untuk
keperluan pribadi ataupun khalayak umum. Oh hiya, biar tidak lupa, memotret
diri sendiri ini lebih dikenal dengan selfie (kependekan dari self potrait),
yang terjemahan umum dalam bahasa Indonesia adalah kegiatan swafoto atau
memotret diri sendiri menggunakan kamera digital atau kamera telepon genggam. Pun
demikian, sejak tahun 2013 kata 'selfie' secara resmi juga sudah masuk dalam
daftar kata Oxford English Dictionary.
Benar, makin menjamurnya hp
android lokal murah meriah yang dilengkapi dengan perangkat kamera -- dan
ditunjang puluhan aplikasi untuk mengolah foto lebih indah dari wajah aslinya
-- membuat aktivitas selfie bisa dilakukan oleh siapa saja, kapan saja dan
dimana saja (kayak iklan ya?), mulai dari kalangan selebritis sampai para
ibu-ibu pedagang pasar, semuanya bisa ber-selfie ria.
Manfaatnya tentu banyak,
diantaranya bisa mengabadikan semua moment aktivitas dari yang super sakral
sampai yang tidak penting amat, tanpa dibatasi waktu dan tempat. Termasuk untuk
ajang aktualisasi diri, dengan memamerkan segala bentuk 'kelebihan'nya jika
hasil selfie tersebut di eksplor pada sosial media.
Sebaliknya, disadari atau tidak,
aktivitas selfie juga bisa menimbulkan efek negatif. Salah satunya, kecintaan
pada diri sendiri yang berlebihan -- baca: narsis -- akan berdampak pada
kesombongan. Juga, alih-alih ingin narsis, yang ada malah kehilangan rasa
percaya diri. Karena selalu menampilkan 'hal indah' yang semu, sehingga takut
dan minder menghadapi kenyataan bahwa dirinya tidak sebagus yang tampil di
foto. Sedang dampak lebih serius, selfie yang diproses aplikasi pengeditan foto
pada hp, akan memunculkan kebohongan demi kebohongan. Seperti dialami Gepeng,
yang saya ceritakan di awal tulisan.
Tidak bermaksud benci pada
selfie, tapi -- tulisan ini -- sekedar mengingatkan, segala sesuatu itu ada
dampak positif dan negatifnya. Dan semua itu, berpulang kembali pada anda
sendiri, mau (dibuat) baik atau (sengaja) untuk maksud buruk. Begitu kan ?
0 komentar:
Posting Komentar