Ada kebiasaan, setiap
ada acara atau kegiatan seremonial -- institusi pemerintah maupun organisasi
kemasyarakatan -- yang melibatkan pejabat, dapat dipastikan panitia akan
menyiapkan konsumsi yang beraneka macam, untuk disajikan di meja depan, yang
khusus untuk undangan kehormatan. Pokoknya membuat kesan 'makmur', agar tidak
membuat malu panitia, meski kadang hidangan tersebut hanya dicicipi sekedarnya
saja oleh sang pejabat.
Terus terang saya tidak
dalam kapasitas menggugat 'kebiasaan' tersebut, apalagi sampai mengatakan itu
tidak benar. Bukan, saya hanya sering bertanya dalam hati, apakah hiya -- para
pejabat (level apapun) yang hadir pada acara-acara tersebut -- memang
menginginkan dijamu seperti itu, ataukah ini hanya inisiatif 'tuan rumah'
sebagai azas kepantasan semata?
Bukannya apa, saya juga
sering datang ke berbagai acara seremonial semacam itu -- beberapa diantaranya
saya berkesempatan duduk di kursi empuk deretan terdepan -- dan saya melihat
ketimpangan, yaitu deretan paling depan (biasanya pejabat dan undangan
kehormatan) disuguhi penuh hidangan, sedangkan deret belakangnya kadang tidak mendapat
apapun, bahkan air minum sekalipun. Memprihatinkan bukan?
Itu baru kasus pertama.
Yang kedua, jika toh seandainya seluruh tamu undangan yang hadir dibagi
konsumsi juga, kadang porsi yang diberikan malah justeru berlebih dan
dipantas-pantaskan. Sering saya dengar -- apalagi kalau saya jadi bagian dari
panitia -- kalimat seperti ini: "jangan pakai piring styrofoam ah, mending
kotak karton saja, lebih praktis dan pantas", atau: "kuenya jangan
cuma dua macam dong, gak pantas, kelihatan pelit", bahkan ada yang bilang:
"sebaiknya konsumsinya prasmanan, ambil sendiri-sendiri, biar tidak
terkesan dijatah". Kalimat yang lebih parah lagi: "kuenya jangan
seperti itu ah, malu-maluin, itu kan makanan kampung".
"Terus maunya Mas
Prie itu apa sih? Protes melulu, bikin sebel!" Mudah-mudahan ada
(beberapa) pembaca yang menggerutu begitu. Ya, kalau tanya maunya saya -- lebih
tepatnya pemikiran saya -- kenapa sih tidak kita rubah saja pola 'penyambutan'
tamu pejabat dalam sebuah acara (seremonial), dari segi sajian hidangannya.
Jangan berlebihanlah.
Maksudnya, polanya
dirubah dengan konsep lebih rasional dan merakyat. Rasional, dengan melihat
macam acara, banyak undangan dan budget yang ada. Merakyat, dengan
menghidangkan sajian yang biasa dikudap masyarakat pada umumnya. Toh jujur
saja, para pejabat -- atau siapapun yang duduk di deretan kursi depan -- itu
sudah terbiasa dengan kudapan enak dalam keseharian. Jangan 'dimanja' lagi
dengan hidangan kudapan sejenis, yang naga-naganya juga jarang dimakan.
Jadi kenapa tidak sesekali
diberi hidangan makanan tradisional dan 'khas kampung' ataupun jajanan pasar
misalnya? Pasti lebih mengena dan surprise, karena jarang ditemui oleh
beliau-beliau itu. Bahkan, hidangan tradisional itu, bisa membangkitkan
nostalgia makanan ataupun jajanan masa kecilnya, bisa jadi kan? Demikian juga
dengan undangan umum lain -- kalau memang dapat konsumsi -- yang simple dan
sewajarnya saja, karena mereka hadir bukan semata-mata untuk cari makanan
kecil.
Intinya, sudah waktunya
kita sudahi cara-cara kontra-produktif dalam memberi 'jamuan' sebuah acara
seremonial. Saya sebenarnya sangat apresiasi dengan himbauan pemerintah,
beberapa waktu silam, yang 'mengharuskan' menyajikan makanan tradisional
berbahan lokal -- untuk acara-acara instansi pemerintah, walau di hotel
sekalipun -- sebagai bagian pola hidup sederhana dan rasa empati pada
'susahnya' kehidupan rakyat kecil. Ironisnya, program itu kini sudah nyaris tak
terdengar lagi.
Menurut hemat saya,
lebih 'bernilai' ketika kita mengangkat martabat makanan kampung sebagai bagian
kehidupan keseharian -- dalam konteks acara seremonial tadi -- daripada
mengangkat harkat dan martabat pejabat (yang hadir sebagai undangan kehormatan,
dengan menyajikan hidangan yang dilebih-lebihkan) agar kita bernilai di mata
mereka. Gimana, betul apa betul ?
0 komentar:
Posting Komentar