'Naik kereta api, tut..
tut.. tut.., siapa hendak turut.., ke Bandung... Surabaya...' Masih ingat
dengan penggalan lagu itu? Ya, lagu anak-anak yang sangat familiar -- sejak
saya masih kecil -- sampai saat ini pun masih dinyanyikan anak-anak di sekolah
TK. Sebuah lagu yang menggambarkan bahwa naik kereta api, moda transportasi
'murah meriah' yang sudah begitu merakyat, sangatlah menyenangkan. Benarkah
demikian?
Untuk menjawabnya, saya
akan berbagi pengalaman dalam menggunakan sarana transportasi ini, dalam 20
tahun terakhir.
Pertama kali saya
merasakan naik kereta api, saat merantau ke Jakarta, untuk mulai 'berjuang'
mencari sesuap nasi, sekitar tahun 1995. Saat itu, tidak ada pilihan lain,
kereta api Matarmaja adalah satu-satunya tujuan Jakarta, dari Malang. Ada dua
kelas, Bisnis dan Ekonomi, dalam satu rangkaian gerbong panjang. Bisnis
menempati 3 gerbong didepan, disusul rangkaian gerbong ekonomi.
Kesan pertama,
melelahkan dan berisik. Berangkat dari Malang jam 1 siang, sampai stasiun Pasar
Senen (Jakarta) jam 9 pagi, keesokan harinya. Perjalanan 20 jam, karena setiap
stasiun -- besar dan kecil -- kereta selalu berhenti. Di dalam kereta, suasana
'berisik', sepanjang perjalanan. Mulai dari hilir mudiknya penjual asongan,
pengamen, pengemis, penyewaan bantal, tukang pijit, sampai petugas restorasi
yang menawarkan minuman dan makanan.
Belum lagi saat
berhenti di setiap stasiun, pengasong & penjual makanan berebut naik
kereta, menjajakan dagangannya dengan suara nyaring. Mereka dengan enaknya
melangkahi para penumpang yang tidur di sepanjang lorong gerbong. Yang paling
menyebalkan, fasilitas toiletnya jorok dan bau. Itu yang di kelas ekonomi.
Untuk kelas bisnis, agak sedikit mendingan, terutama tempat duduk yang lebih
empuk dan akses pedagang asongan yang dibatasi.
Saya kurang faham,
kenapa begitu crowded. Apa karena harga tiket yang murah, monopoli pengelolaan,
ataukah sistem yang masih lemah. Tetapi, itulah gambaran 'sederhana' suasana
kereta api di tahun 90-an -- yang anehnya -- saya tetap setia menggunakan,
untuk mudik ke Malang. Sampai (akhirnya) di awal 2000-an dioperasikan kereta
Gajayana, untuk kelas eksekutif, dengan harga tiket 4 kali lipat kelas ekonomi.
Sesuai kelasnya, suasananya lebih nyaman. Meski di stasiun tertentu, asongan
masih bisa masuk juga. Setidaknya, untuk saat tertentu, Gajayana bisa jadi
alternatif jika ingin suasana nyaman dan tenang.
Ketika moda
transportasi udara merambah Malang -- saat Bandara Abdurrachman Saleh dibuka
kembali untuk komersial -- saya sempat beralih ke moda ini, untuk keperluan ke
Malang. Bukannya apa, harga tiket maskapai penerbangan lokal tujuan
Malang-Jakarta (PP) hanya beda-beda tipis dengan kereta api eksekutif jurusan
yang sama. Barangkali, inilah (salah satu) alasan PT. Kereta Api Indonesia
mulai berbenah, agar tidak semakin ditinggalkan penggunanya, terutama pengguna
kelas menengah keatas.
Nyatanya PT. KAI
benar-benar 'mereformasi' diri dalam sistem dan layanannya. Setidaknya saya
merasakan sendiri di tahun 2013 dan 2014. Pembelian tiket yang awalnya manual
dan harus berebut dengan calo, menjadi online dan mudah didapat, termasuk di
jaringan Indomaret yang sudah merambah ke pelosok kampung. Nama di tiket harus
sama dengan KTP penumpang. Stasiun juga steril dari pengasong & pengantar
penumpang. Dan, terpenting, jadwal keberangkatan ontime sesuai tertera di
tiket.
Demikian juga selama
perjalanan, tidak ada lagi pedagang asongan, toilet bersih, dan pendingin udara
yang nyala terus. Yang surprise, colokan listrik -- di tiap dinding dekat kursi
-- bisa dipergunakan, baik untuk handphone maupun laptop. Itu di kelas ekonomi
lho, saat saya naik kereta api Kertajaya jurusan Stasiun Semut, Surabaya.
Kembali ke Jakarta, saya naik kereta Gajayana, yang tentu saja dengan layanan
cukup prima.
Jadi, 'ayo kawanku
lekas naik, keretaku tak terlambat lagi..' Ya, selain tak terlambat, juga
nyaman dan tertib. Anda perlu membuktikan, sesekali.
0 komentar:
Posting Komentar