Bagi penggemar penyanyi
legendaris Iwan Fals, judul diatas pasti mengingatkan pada sebuah lagu Bang
Iwan di tahun 90-an, 'Sore Tugu Pancoran'. Lagu yang bercerita tentang si Budi
kecil, yang harus -- menahan dingin kehujanan -- berjualan koran di malam hari,
demi untuk biaya hidup dan sekolahnya.
Memang, lagu Bang Iwan tersebut
benar adanya. Di tahun 90-an, kawasan perempatan tugu Pancoran di Jalan Gatot
Subroto, Jakarta Selatan tersebut boleh dikata sebagai (salah satu) pusat
peredaran koran di Jakarta. Tepatnya di sepanjang trotoar dan taman arah Jalan
Sahardjo (Tebet), tiap pagi, siang dan sore berbagai koran harian dan tabloid
mingguan di drop di tempat tersebut untuk didistribusikan pada para pengecer --
para penjual koran di lampu merah yang jumlahnya puluhan orang -- dan para
agen-agen kecil.
Tentu saya hafal dan tahu benar
aktifitas tersebut, karena di awal tahun 1995 saya mulai 'mengejar karir' di
ibukota, dan kebetulan berkantor di gedung yang persis berada di kawasan tugu
Pancoran tersebut. Jadi setiap pagi, begitu turun dari bis PPD Patas 41 di
halte Pancoran, saya sudah bisa melihat kesibukan para pedagang koran tersebut.
Demikian pula saat pulang kerja, sambil berjalan menuju halte bis Tebet
biasanya saya terlebih dulu 'nongkrong' di lapak koran taman perempatan
Pancoran, sekedar lihat-lihat berita di koran yang beredar sore itu, atau
ngobrol dengan para pengasong koran saat lampu hijau menyala.
Nah, rutinitas itulah yang
membuat saya mengenal salah seorang penjual koran di lampu merah Pancoran. Saya
lupa-lupa ingat namanya -- mungkin Mas Jo, Mas No, Mas Min atau Mas Har, atau
Mas siapa gitu. Kita panggil Mas No saja supaya enak -- yang penampilannya
cukup unik, karena tidak pernah pakai alas kaki saat jualan koran, baik kala
panas maupun hujan.
Ciri khas lainnya, Mas No selalu
senyum dan ramah pada setiap orang lewat yang dia tawari koran. Bahkan, Mas No
sering minta saya ambil koran dan bayar belakangan (ngutang, hehehe), ketika
tahu saya belum gajian. Oh hiya, menurut pengakuannya, Mas No punya saudara
kembar yang sama-sama penjual koran, sehingga saya (kata Mas No) sering salah
ambil dan salah bayar ke saudara kembarnya. Dan saya tidak pernah memperhatikan
itu.
Di awal tahun 2000-an saya pindah
kantor -- masih di perusahaan yang sama -- yang berlokasi di kawasan Jakarta
Timur, sehingga interaksi saya dengan para pengasong koran di sekitaran tugu Pancoran
otomatis terhenti juga. Saya tidak lagi ketemu Mas No. Apalagi ketika internet
sudah merambah Jakarta -- dan media cetak mulai bertumbangan satu persatu --
setiap ada kesempatan lewat Jalan Gatot Subroto (Pancoran) saya tidak lagi
melihat geliat pendistribusian koran, pun demikian di lampu merah tidak lagi
saya temui pengasong koran. Nampaknya era internet dan media online mampu
'menggusur' era kejayaan media cetak.
Tapi tanpa diduga, ketika saya
pindah kerja di perusahaan lain -- di tahun 2014 -- dan berkantor di Menara
Bidakara, yang (lagi-lagi) berada di kawasan Pancoran, saya bertemu lagi dengan
Mas No secara tidak sengaja. Bermula saat sore selepas kerja saya menyusuri
taman menuju shelter busway Pancoran Tugu, saya melihat Mas No membawa tumpukan
koran sambil menawarkan pada para pejalan kaki dengan senyum ramahnya. Saya
mudah mengenalinya, meski hampir 15 tahun tak melihatnya, karena hanya tinggal
dia sendiri yang kelihatan jual koran di Pancoran, dan masih dengan ciri
khasnya: tanpa alas kaki. Yang berubah, gurat-gurat usia tua nampak jelas di
wajahnya.
Memang tidak ada yang aneh dengan
kisah Mas No ini. Tapi, yang patut diapresiasi adalah keteguhan Mas No dalam
menekuni pekerjaannya sebagai pengasong koran, dalam 20 tahun terakhir.
Terlepas sukses apa yang sudah
didapat, bahwa mengasong koran di lampu merah -- ataupun jalanan ibukota --
untuk saat ini adalah pekerjaan langka dan sangat berat, karena masyarakat
sudah beralih ke media online daripada media cetak. Tapi nyatanya Mas No bisa
bertahan 20 tahun. Itu yang patut diacungi jempol!
0 komentar:
Posting Komentar