Mungkin bukan hanya saya -- yang
merasa kesal dan kurang nyaman -- ketika (pengguna) media sosial seperti
berlomba, memunculkan foto-foto perempuan berwajah cantik dari berbagai
profesi, beberapa waktu silam. Mulai dari polisi cantik, penjaga tol cantik,
lurah cantik, satpol PP cantik, sopir bis cantik, petugas pom bensin cantik,
penjual nasi cantik, tukang sapu jalan cantik, sampai tukang tambal ban cantik.
Tak cuma itu, media online pun ikut-ikutan 'berburu' yang serba cantik, dan
memberitakan (hampir) setiap hari.
Kalau saya merasa kesal, dan juga
tidak nyaman, tentu bukan karena 'tidak normal' --ataupun munafik -- karena
tidak suka melihat foto perempuan cantik. Tetapi, alasan saya, kejadian dan
aktivitas tersebut, dilihat dari segi kehidupan sosial, sangat tidak beretika.
Karena, tidak menempatkan perempuan pada 'proporsi' yang sebenarnya. Maksudnya,
tujuan penyebaran foto tersebut, lebih pada menempatkan perempuan sebagai
'obyek' yang hanya dinikmati sebagai kesenangan, sebagai pemuas indera
penglihatan semata.
Saya tidak sependapat, kalau hal
tersebut hanya dipandang sebagai 'guyonan' semata, apalagi kalau sampai disebut
'fenomena' sesaat. Karena, terlalu naif memanfaatkan kelebihan fisik perempuan,
sebagai bahan candaan di media sosial. Apalagi, media sosial adalah ruang
publik yang bisa diakses siapa saja, tidak mengenal gender, usia, pendidikan
dan strata sosial. Sehingga, setiap ada foto baru -- dari perempuan cantik
dengan profesi yang berbeda -- pasti akan segera dibahas dan dikomentari,
cenderung (berkesan) melecehkan.
Pemikiran saya, munculnya
foto-foto itu, akhirnya lebih berdampak pada munculnya image baru, bahwa
perempuan cantik 'tidak cocok' masuk pada profesi tersebut. Kalau toh ada yang
'terlanjur' menggelutinya -- seperti dalam foto-yang beredar -- maka dikesankan
mereka adalah perempuan istimewa. Salah tempat.
Gampangnya, sebagai misal, ketika
ada perempuan muda, dengan wajah 'tidak cantik', membuka jasa tambal bal di
depan rumahnya, akan dianggap biasa saja. Paling-paling disebut sebagai dampak
dari kemiskinan dan putus sekolah. Atau, korban ketidakmampuan orangtua
menyekolahkan ke jenjang lebih tinggi. Coba bandingkan, dengan kondisi dan
profesi yang sama, tetapi perempuan itu berparas cantik. Pasti akan berbeda
cara pandang dan perlakuannya bukan? Dalam hal ini, sudah ada benih
diskriminasi.
Contoh lebih konkrit, beberapa
waktu lalu, di media online -- dan tentu saja media sosial -- sempat ramai
beredar foto seorang perempuan cantik berusia 19 tahun, penjual kue tradisional
di jembatan penyeberangan, di Jakarta. Kalau dipikir secara akal sehat, sangat
biasa 'gadis' seusia itu membantu orangtua atau keluarganya, mencari tambahan
penghasilan dengan berjualan kue di area umum, bukan? Terlepas berparas cantik,
biasa saja, atau (maaf) jelek.
Tetapi, karena masyarakat (baca:
di media sosial) sudah 'terlanjur' tersugesti dengan kebiasaan sebelumnya,
penyebaran foto perempuan yang 'serba cantik' tadi -- dan di blow-up di media
online juga -- maka jadilah hal itu 'seolah-olah' hal yang luar biasa.
Sehingga, gadis tersebut menjadi gunjingan dan 'tontonan', bahkan dijadikan
model dadakan di salah satu media online, serta ditawari untuk main sinetron
segala. Tidak masuk akal, hanya karena cantik (dan kebetulan jualan kue),
langsung ditawari profesi yang sebetulnya perlu skill yang tinggi.
Sekali lagi, saya tidaklah alergi
dengan 'kebiasaan' media sosial yang sering memunculkan hal mengejutkan pada
komunitas penggunanya. Apalagi kalau (bisa) memberikan dampak dan nilai positif
pada masyarakat. Tetapi, sebaliknya, kalau sudah diluar akal sehat -- sampai
merendahkan martabat kaum perempuan segala -- tidaklah elok.
Terlepas pro dan kontra, sangat
celaka kalau hal seperti ini selalu ditolerir, dengan alasan apapun. Benar,
kecantikan memang anugerah yang patut disyukuri. Tetapi, kalau dieksploitasi
dengan cara -- dan tempat -- yang salah, itu adalah 'pelecehan', diakui atau
tidak!
0 komentar:
Posting Komentar