Entahlah, setiap mendengar --
atau membaca -- kata Lupus, pasti 'gambar' yang muncul di benak saya adalah
sosok cowok kerempeng berseragam putih abu-abu, baju dimasukkan hanya bagian
depan dan bagian belakang dikeluarkan. Dengan dandanan rambut panjang berkuncir
di belakang plus model jambul di depan, Lupus selalu membawa tas kain bertali
panjang, berjuntai sampai paha. Dan, ini yang menjadi ciri khasnya, selalu
mengunyah permen karet.
Benar, untuk yang 'mengalami'
masa remaja tahun 80-an, pasti menebak itu sosok Lupus, tokoh rekaan penulis Hilman Hariwijaya, yang menjadi idola
remaja jaman itu. Cerita Lupus, dimuat di majalah remaja Hai secara bersambung,
dibuat novel, dan juga ada versi layar lebarnya. Saya suka (baca) Lupus, karena
alur cerita yang lepas, gaya dan perangainya yang tengil, konyol dan cuek, pas banget dengan jiwa remaja SMA yang
(maunya) bebas.
Dan lewat (gambar) sosok Lupus
ini pula -- untuk pertama kalinya -- saya berani 'mengkritik' kebijakan
sekolah, melalui majalah sekolah Widya Wiyata. Spontanitas saja, meski beberapa
waktu setelah majalah terbit saya menyesal juga, apalagi Pak Agus Sarsilo
(Wakasek Kesiswaan, saat itu) memberikan reaksi lumayan keras, atas kritik yang
saya buat tersebut. Tetapi, kejadian itu, menjadi pelajaran sangat berharga
bagi saya, untuk tetap menggunakan 'hati' dalam menulis kritik, bukan emosi
yang meledak-ledak.
Cuma, gara-gara kegemaran Lupus
-- yang suka mengunyah dan membuat balon permen karet -- dan ditiru teman-teman
SMA saat itu, membuat saya dibuat repot, dan kesal setiap lihat permen karet.
Bagaimana tidak, teman-teman membuang 'sampah' permen karet sembarangan.
Ditempel di bawah meja, di sandaran kursi, di tembok, atau juga di lantai
kelas. Sehingga, celana abu-abu saya jadi 'korban' permen karet. Bukannya apa,
mau beli celana lagi koq ya sayang,
karena sudah kelas 3, tanggung.
Dan, hampir tiga puluh tahun
setelah kejadian itu, sikap saya agak melunak terhadap permen karet. Itupun
setelah membaca artikel di Tabloid Kontan, bahwa berdasar hasil penelitian di
Belanda, ternyata mengunyah permen karet selama 10 menit, bisa menghalau
bakteri. Tepatnya, ditemukan sekitar 100 juta bakteri terperangkap di setiap
kunyahan permen karet. Artinya, ini benar-benar membuat hanya sebagian kecil
bakteri saja, yang tinggal di dalam mulut.
Menurut Stefan Wessel, yang melakukan penelitian, dengan berkurangnya
bakteri di mulut, tentu dapat meminimalisir risiko gigi berlubang, gusi lebih
sehat, dan aroma napas yang lebih baik. Ini karena ketika permen karet
dikunyah, akan membersihkan plak dan sisa-sisa makanan yang menempel di gigi.
Apalagi, aktivitas mengunyah juga merangsang produksi air ludah. Karena air
liur adalah antimikroba, ia bekerja untuk membunuh bakteri di mulut dan juga
menjaga jaringan gusi tetap sehat.
Tentu saja, tidak semua jenis
permen karet efektif (bisa) 'membunuh' bakteri di rongga mulut. Memang, untuk
rasa dan warna kita bebas menentukan pilihan. Tapi, yang pasti, kita juga harus
memilih permen karet yang bebas gula. Karena, pada permen karet yang mengandung
gula, bakteri mulut akan memfermentasi gula, yang kemudian akan memproduksi
asam dan melemahkan gigi. Sebaliknya, pemanis buatan dalam permen karet bebas
gula, tidak akan memberikan reaksi yang sama.
Oh hiya, jangan lupa, waktu
terbaik untuk mengunyah permen karet -- berdasar penelitian tersebut -- adalah
selama 10 menit. Pasalnya, jika mengunyah permen karet lebih lama dari itu,
bakteri yang sudah terjebak di dalam permen karet akan keluar kembali menyebar
di dalam mulut.
0 komentar:
Posting Komentar