Sungguh menarik, ketika secara
'tak sengaja' saya berdiskusi kecil dengan Pak Yan -- seorang guru sekolah
lanjutan, yang cukup senior -- seusai sholat Isya' di masjid, minggu kemarin. Sebenarnya, awalnya, hanya
pembicaraan ringan seputar kenakalan anak-anak, yang semakin sulit
dikendalikan, sehingga menjurus ke masalah kriminal. Biasanya, yang akan
disalahkan, adalah orang tua dan pihak sekolah. Orangtua dianggap 'kurang
mampu' mengendalikan dan mengawasi aktivitas keseharian anaknya. Di lain pihak,
sekolah juga dianggap berperan penting 'berkembangnya' kenakalan anak, karena
lalai dalam memberi pelajaran budi pekerti pada anak didik.
Menurut Pak Yan, ini kondisi
tidak adil, yang sudah terlanjur tercipta dan melekat pada pandangan mayoritas
masyarakat kita. Tidak adil, karena hanya melihat kenakalan anak dari satu
'akibat' saja, bahwa pendidik (baca: sekolah) kurang mampu memberikan pelajaran
budi pekerti dan moral, sehingga anak menjadi liar dan tidak terkendali.
Padahal, paradigma itu belum tentu benar, perlu pengkajian mendalam dalam
mengurai dan menemukan akar masalah sebenarnya.
Saya semakin tertarik dengan
'pemikiran' Pak Yan, ketika menyentuh pada masalah sistim pendidikan yang
kurang mendukung pembentukan moral dan budi pekerti anak didik, dan lebih
cenderung 'menciptakan' anak pintar dengan cara yang (kadang) kurang terencana
dengan baik. Bahkan, ada kegamangan dari para pendidik untuk bersikap, dalam
menangani kasus kenakalan anak -- sikap dan sifat di luar kewajaran anak didik --
di sekolah, karena 'takut' dengan dampak yang ditimbulkan. Terutama dalam
memberikan hukuman yang bersifat fisik maupun psikis, meski ringan dan bersifat
mendidik.
Sebagai contoh -- dengan sedikit
membandingkan cara 'menghukum' anak didik di masa sebelumnya -- seorang
pendidik di masa sekarang akan berfikir seribu kali, untuk memberi efek jera
pada anak didik secara fisik atau psikis. Meski nyata-nyata sudah tidak mempan
dengan himbauan, nasehat dan teguran keras sekalipun. Jangankan 'menyentuh'
tubuh anak didik, melontarkan teguran yang (dianggap) kasar dan (menjurus)
pelecehan pun, sangat dihindari para pendidik sekarang. Setidaknya, menghindari
dampak yang ditimbulkan, yaitu tuntutan hukum atas nama 'kekerasan pada anak'.
Padahal, di masa lampau, hukuman
berdiri di depan kelas, hormat bendera di halaman sekolah, lari keliling gedung
sekolah, atau juga membersihkan toilet sekolah, sudah biasa dijatuhkan pada
anak didik. Bahkan, sebuah jeweran di telinga, cubitan di lengan, pukulan pada
tangan -- dalam batas tertentu -- justeru bisa memberi efek jera, dan
meminimalisir (munculnya) kenakalan pada anak didik.
Begitulah, diskusi kecil yang
menjurus 'curhat' malam itu, memang belum tuntas. Banyak menyisakan pertanyaan.
Diantaranya, dimana peran orang tua, kalau semua urusan pembentukan watak,
moral dan budi pekerti (hanya) dibebankan pada pihak pendidik (baca: sekolah)
semata? Padahal, berapa jam efektif seorang anak dalam 'pengawasan' sekolah
dalam seharinya? Bukankah seorang anak lebih banyak waktu berkumpul dengan
keluarga, dalam kesehariannya? Bukankah karakter dan sifat anak justeru
terbentuk dari lingkungan terkecil, yaitu keluarga?
Artinya, seperti yang tertulis di
awal tadi, orang tua -- dan lingkungan keluarga -- harus ikut berperan dalam
membentuk karakter yang baik pada anak, minimal dengan memberikan pemahaman
moral dan budi pekerti sejak dini. Tidak hanya dengan nasehat dan omongan
semata, tetapi juga contoh konkrit dalam kehidupan sehari-hari. Berikutnya,
orang tua secara terus-menerus juga harus melakukan 'kontrol' berkesinambungan,
terhadap pergaulan anak. Mulai dari aktivitas keseharian, teman-temannya,
sampai lingkungan pergaulannya.
Jika itu dilakukan -- sinergi
orang tua dan pendidik -- pasti kenakalan anak bisa diminimalisir. Dan
kegamangan pendidik, yang diwakili Pak Yan tadi, tidak perlu ada. Juga, hukuman
fisik dan psikis tidak perlu dilakukan lagi. Cuma, masalahnya, sudah adakah
sinergi itu?
0 komentar:
Posting Komentar