Sebenarnya agak riskan, mau menulis
tentang Long Distance Relationship -- biasa disingkat (dan disebut) LDR saja --
di 'Secangkir Teh' pagi ini. Bukannya apa-apa, saya merasa sudah ketinggalan
zaman, kalau membahas hubungan LDR, yang dilakukan anak muda zaman sekarang.
Dalam benak saya, di era yang sudah serba canggih, mestinya LDR bukanlah sebuah
halangan. Lagipula, saat masih muda dulu, saya jarang menemukan kasus LDR yang
jadi masalah. Terutama dari teman-teman mahasiswa seperjuangan di rantau.
Semuanya dijalani dengan lancar dan baik-baik saja.
Justeru, yang 'menginspirasi'
saya menulis LDR, adalah curhatan dari Faiz -- sebut saja begitu, sahabat saya
yang masih berusia 25 tahun -- melalui whatsapp. Faiz, pemuda lajang yang saya
kenal melalui media sosial Instagram tiga tahun silam, mengeluhkan hubungan
dengan pacarnya yang 'kurang lancar'. Sudah 2 tahun, sejak lulus kuliah, Faiz
meninggalkan kota kelahirannya (Semarang), untuk memenuhi pangilan kerja di
Bontang, Kalimantan Timur. Masalahnya, Faiz juga 'meninggalkan' pacarnya yang berusia
21 tahun di Semarang, karena masih kuliah.
"Gimana ya Om, kami serius
untuk melanjutkan hubungan sampai jenjang pernikahan. Tapi saya was-was terus,
takut dia ingkar pada komitmen. Apalagi kami berjauhan", itu kalimat Faiz,
yang ditulis dan dikirim kemarin malam. Terus terang, ini 'membebani' saya,
karena harus memberi jawaban yang bijaksana dan solutif layaknya seorang
psikolog, dengan segera. Lha hiya, saya tidak boleh memberi jawaban sekedarnya
kan? Karena, ini menyangkut hubungan serius dua anak manusia, yang sedang galau
sekaligus dilanda asmara.
Sebenarnya, kasus Faiz adalah
persoalan yang sudah biasa dialami kaum muda, yang bisa terjadi pada siapa
saja. Cuma, jadi sedikit unik, karena kecemasan malah ada di fihak Faiz,
laki-laki yang statusnya aman, karena sudah mendapat pekerjaan. Seharusnya,
'kekhawatiran' itu ada di fihak perempuan, karena takut sang arjuna tidak sabar
menunggu dia menyelesaikan kuliah. Namun, apapun itu, saya melihat ini lebih
pada masalah 'kepercayaan' yang belum terjaga baik. Selain, bisa jadi karena
(adanya) komunikasi yang 'terhambat'.
Seperti saya sampaikan ke Faiz,
hubungan LDR memang harus didasari oleh komitmen dan saling percaya yang cukup
kuat. Rasa percaya, bisa ditumbuhkan dengan memperjelas lebih dulu -- melalui
komunikasi yang kontinyu -- tujuan hubungan yang dijalin, termasuk tujuan
akhirnya. Kalau sudah ada titik temu, atau biasa disebut komitmen, ya tinggal
'menjaga' saja. Menyiasati terpisahnya jarak yang jauh, bisa diatur melalui
komunikasi yang terjadwal.
Benar, hubungan LDR memang sering
'bermasalah' di komunikasi. Hal-hal kecil -- yang disebabkan miskomunikasi --
sering menjadi masalah besar, meski sudah didasari komitmen. Itulah sebabnya,
penting untuk mengatur jadwal komunikasi. Entah melalui telepon, video call,
atau chatting via media sosial lainnya. Ini diperlukan, apalagi seperti yang
terjadi pada Faiz, jam kesibukan antara pekerja kantoran dan mahasiswi jelas
berbeda. Sehingga perlu dicari dan disepakati, kapan saat terbaik
berkomunikasi, untuk menghindari kesalahpahaman yang seharusnya tak terjadi.
Sekali lagi, tulisan ini bukan
acuan 'jalan keluar' untuk yang sedang menjalani hubungan LDR. Karena pemahaman
LDR itu sangat luas, tergantung yang mempersepsi dan jenis kasusnya. Tulisan
ini, semata-mata lebih pada penjabaran 'penyelesaian' satu kasus LDR, yang
sedang dialami Faiz. Masalah sudah jelas, komitmen awal (sebenarnya) juga sudah
diikrarkan, saat Faiz dan pacarnya tinggal di Semarang. Sehingga, kini tinggal
menjaga, sekaligus mulai -- sedikit demi sedikit -- mengikis rasa was-wasnya.
0 komentar:
Posting Komentar