Rasanya kangen juga, setelah
selama seminggu, saya 'mangkir' -- menulis dan menjumpai -- pembaca 'Secangkir
Teh'. Lagi-lagi, saya harus mengalah, pada urusan yang memang harus
diprioritaskan. Yang tujuannya, salah satunya, untuk kepentingan jangka panjang
rubrik 'Secangkir Teh' ini juga. Cuma, cerita lebih detailnya, saya akan buat
dalam tulisan tersendiri, dalam beberapa hari ke depan.
Terus terang, selama 'libur'
menulis, ide dan materi tulisan terus datang silih berganti, di kepala saya.
Makin tidak saya hiraukan, makin 'berebut' untuk segera dituangkan dalam bentuk
tertulis. Salah satunya -- ini yang sering terjadi di sekitar kita juga --
kebiasaan memandang kehidupan orang lain, yang (dianggap) lebih baik dari
kehidupannya sendiri. Entahlah, apakah ini memang sudah menjadi sifat bawaan
manusia, atau hanya pengaruh lingkungan semata, tetapi nyatanya sudah seperti
wabah, yang sulit diberantas.
Tidak perlu terlalu jauh mencari
contoh. Di lingkungan kerja misalnya. Ketika saya masih kerja di bagian promosi,
kalau melihat teman di bagian design grafis -- biasanya mengerjakan materi
iklan cetak dan label atau packaging -- rasanya senang banget. Kerjanya tiap
hari koq 'main' komputer melulu. Browsing internet, edit gambar, dan hal yang
(kelihatan) menyenangkan lainnya. Ketika hal ini saya sampaikan, dia malah
berkata, "Jenuh juga Mas, saya justeru melihat teman-teman di bagian
promosi itu lebih menyenangkan. Bisa bebas kerja di lapangan, tidak di ruangan
terus."
Atau, kalau mau contoh, yang
sering kita temui, adalah yang ada di lingkungan tempat tinggal sendiri. Tidak
jarang kita -- atau orang lain, kalau tidak mau dibilang 'kita' -- merasa
tetangga lebih beruntung kehidupannya, entah dari segi materi, pekerjaan atau
dalam membina keluarga. Padahal, belum tentu (kenyataannya) seperti itu. Kita
hanya melihat kulit luarnya, melihat 'hasil akhir' semata. Kita tidak pernah
membayangkan proses yang dilalui tetangga tersebut, sampai bisa mencapai
seperti sekarang ini.
Pun demikian sebaliknya. Bisa
jadi, ada tetangga yang juga punya perasaan kagum sekaligus iri, melihat
kehidupan kita sekarang ini. Tentu dengan alasan-alasan yang (hampir) sama,
dengan apa yang kita pikirkan tentang tetangga yang 'lebih beruntung' tadi.
Dalam masyarakat Jawa, hal semacam ini disebut 'sawang sinawang', saling
melihat. Kita sering silau dengan keberhasilan, keberuntungan, dan kesuksesan
orang lain. Sebaliknya, orang lain tersebut, tak menutup kemungkinan punya
pandangan yang sama terhadap kita.
Begitulah, sebuah kehidupan yang
mencerminkan ketidakpuasan dengan apa yang sudah didapatkan. Maksudnya, selalu
tidak puas dengan hasil kerja keras yang sudah dilakukan. Karena (masih)
membanding-bandingkan dengan keberhasilan orang lain, yang dianggapnya lebih
beruntung. Sebenarnya, kalau dilihat dari perspektif yang berbeda, sikap ini
lebih pada 'ketidakmampuan' seseorang -- saya tidak menyebut 'kita' -- dalam
melihat kekurangan diri sendiri, sekaligus (juga) dalam melihat kelebihan yang
dimiliki orang lain. Orang yang dianggapnya lebih enak hidupnya.
Cuma, kalau mau mengurai lebih
lanjut -- masalah 'rumput tetangga' ini -- pasti tak akan pernah ada habisnya.
Dan nampaknya, 'Secangkir Teh' bukanlah tempat yang tepat untuk membahasnya,
apalagi sampai berlarut-larut. Jadi, menurut saya, cukuplah sekedar tahu, bahwa
sangat sulit untuk 'membasmi' penyakit hati, yang sudah terlanjur mengakar di
masyarakat ini. Mungkin, yang bisa dilakukan, adalah berusaha untuk
'menghambat' agar tidak menjadi kronis.
Caranya, ya mulai belajar faham
dan sadar diri, akan kemampuan diri sendiri. Kalau ada orang -- atau tetangga
-- yang mampu mencapai hasil 'lebih', jadikan saja sebagai pemacu diri, untuk
lebih keras lagi dalam usaha. Artinya, kalau rumput tetangga (selalu) lebih
hijau, bisa jadi karena dia rajin menyiram tiap hari. Jadi, agar tidak iri
dengan rumput tetangga, mulailah rajin 'menyiram' rumput sendiri. Apapun
hasilnya, disyukuri saja.
0 komentar:
Posting Komentar