Pagi ini, tiba-tiba terbersit di
benak saya, ingin menulis tentang konsumen -- arti harfiahnya: pemakai barang
hasil produksi -- yang selama ini masih lemah 'kedudukannya' terhadap produsen.
Konsumen, ya kita-kita yang memakai barang dan jasa ini, sering tak berdaya
ketika menemukan (atau bahkan mengkonsumsi?) produk yang tidak layak.
Ironisnya, konsumen yang sudah jelas-jelas dirugikan, kadang masih saja
dipersalahkan, karena dianggap tidak jeli membeli produk.
Memang, banyak orang menganggap
ini masalah sepele. Tapi -- kalau dibiarkan terus-menerus -- hal sepele bisa
menjadi 'besar', yang dampaknya pun akan makin sulit ditanggulangi. Misalnya,
ketika tanpa disadari, makanan atau minuman yang kita beli di warung pinggir
jalan, sudah lewat masa layak konsumsi (baca: kadaluwarsa). Kalau tetap kita
konsumsi, karena tidak tahu sudah kadaluwarsa, bisa jadi akan menjadi 'masalah'
baru, yaitu sakit perut. Dan tentu (akan muncul) efek-efek lain, yang intinya akan merugikan konsumen itu
sendiri.
Ada satu pengalaman, yang saya
alami berhubungan dengan produk kadaluwarsa ini. Yaitu, saat dalam perjalanan
pulang ke Jakarta -- saya sekeluarga -- terjebak kemacetan parah di daerah
wisata Puncak (Bogor). Karena putra saya yang masih balita haus, sedang
persediaan susu di mobil sudah habis, akhirnya dibelikan susu coklat dingin
(kemasan kotak) di toko kelontong pinggir jalan. Saat mulai minum, putra saya
memuntahkan kembali, katanya tidak enak. Benar saja, setelah diteliti, ternyata
susu kemasan itu susah lewat sebulan masa kadaluwarsanya.
Kalau dicari siapa yang salah,
jelas toko yang menjual produk tidak layak konsumsi tersebut. Tetapi, untuk 'menuntut'
penjual -- apalagi toko kelontong atau warung pinggir jalan -- tentu tidak
mudah. Selain prosedur dan birokrasi yang kadang berbelit, juga perlu biaya
untuk mengurusnya. Bahkan, untuk pedagang atau penjual produk makanan atau
minuman tingkat pengecer, kadang malah lepas tangan. Naga-naganya, konsumen
juga yang (tetap) disalahkan, karena dianggap tidak jeli dalam membeli produk.
Konsumen, lagi-lagi dalam posisi lemah, posisi yang jarang disadari karena
dianggap hal yang lumrah.
Nah, supaya kita -- para konsumen
-- tidak terus-menerus ada di pihak yang 'dirugikan', ada baiknya untuk
mengantisipasinya sejak dini. Konsumen harus 'pintar' dan jeli, sebelum membeli
makanan atau minuman kemasan. Tidak perduli itu di hypermarket, supermarket,
minimarket, atau toko kelontong maupun warung kecil. Karena, dengan cara ini
pula, konsumen akan menjadi lebih 'kuat' dan mempunyai nilai tawar lebih
tinggi. Utamanya 'keberanian' menolak, untuk tidak membeli barang yang dianggap
meragukan dan/atau tidak layak konsumsi, maupun barang yang disangsikan dari
segi kesehatan maupun higienisnya.
Caranya, ada beberapa. Tapi, yang
paling sederhana -- dan efektif -- adalah dengan mencermati label kemasan, yang
menyajikan informasi penting tentang produk tersebut. Biasanya, dalam kemasan
produk makanan dan minuman, tertera informasi kandungan bahan makanan, mulai
dari vitamin, protein, kalsium, juga garam dan gula. Bahkan, secara spesifik
juga akan diterakan (kandungan) rendah kalori, rendah lemak, rendah kolesterol,
dan bebas gula. Ini sangat bermanfaat bagi konsumen yang mempunyai jenis
penyakit tertentu.
Patut menjadi perhatian, untuk
jenis makanan dan minuman tertentu -- utamanya susu bubuk dan makanan instan
untuk bayi -- adalah takaran saji. Karena, beda produk atau merek, beda pula
takaran saji yang disarankan. Pun 'peringatan' lain, perlu untuk diperhatikan.
Misalnya, kandungan alkohol, nonhalal, larangan konsumsi untuk ibu hamil,
anak-anak, atau penderita penyakit tertentu. Dan, tentu saja tanggal produksi
dan batas masa konsumsi atau kadaluwarsa, serta ada tidaknya nomor izin dari
Badan POM RI.
Ribet? Tidak juga sih. Karena ini
demi kepentingan kita, sebagai konsumen, untuk mendapatkan hak-haknya. Jadi,
kuncinya -- untuk menjadi konsumen yang baik itu -- harus pintar dan jeli.
0 komentar:
Posting Komentar