Dalam salah satu tulisan -- di
rubrik 'Secangkir Teh' ini juga -- saya pernah menceritakan pengalaman rohani
saya. Yaitu, dalam satu hari yang sama, saya harus 'berkorban' dua kali, demi
menolong orang lain. Padahal, boleh dikata, saat itu sebenarnya saya dalam
kondisi yang 'tidak memungkinkan' untuk bisa membantu sesama. Di tulisan itu,
saya mencoba berfikir positif, dan menganggap kejadian tersebut adalah 'ujian'
dari Allah, yang harus dijalani dengan ikhlas. Maksud saya, kita ambil hikmah
(positifnya) saja.
Nyatanya, ada satu komentar --
dari beberapa yang ditulis pembaca -- malah 'mementahkan' cerita saya, dengan
argumen bahwa kejadian yang saya alami adalah hal biasa terjadi di Jakarta.
Dengan kata lain, modus mencari keuntungan pribadi (baca: penipuan) dengan
memanfaatkan mudahnya kita merasa iba pada penderitaan orang lain, sudah bukan
hal aneh lagi. Bahkan, Mbak Dewi Tity, yang menulis komentar tersebut, juga
memberikan contoh lain dari modus 'penipuan', yang memanfaatkan rasa empati
pada penderitaan orang lain.
Tentu, saya tak hendak
memperpanjang cerita tersebut. Karena, di blog ini pun sudah pernah saya ulas cerita sejenis, tentang fenomena 'manusia gerobak', yang
ujung-ujungnya dijadikan modus cara baru dalam mengemis. Ya, saya hanya
bermaksud menjadikan cerita tersebut sebagai 'pengantar', bahwa sesungguhnya
tidak semua orang memanfaatkan 'kemiskinan' sebagai modus untuk mengetuk rasa
iba dan empati kita.
Sebagai contoh -- lagi-lagi saya
'mengutip' pengalaman Mbak Dewi Tity -- adalah sosok seorang nenek yang tiap
hari jualan di pinggiran tempat parkir motor Blok F (pusat belanja grosir Tanah
Abang, Jakarta), dalam 6 tahun terakhir. Dengan hanya beralaskan plastik kresek
untuk menggelar dagangan, nenek berusia 60-an tahun itu berjualan hasil
kebunnya sendiri, seperti: pisang, daun pisang, daun pepaya, daun singkong,
ubi, bahkan (kadang) cuma daun ubi dan lenjer saja.
Sekilas, tidak ada yang istimewa
dari nenek tersebut, tak ubahnya pedagang kaki lima umumnya, yang jumlahnya
ratusan di Tanah Abang. Tetapi, berbekal rasa penasaran, Mbak Dewi Tity
berhasil mendapat fakta, bahwa nenek itu seorang janda yang tiap hari harus
menempuh perjalanan pergi-pulang dari Rangkas Bitung -- nama daerah di wilayah
provinsi Banten -- naik kereta ke stasiun Palmerah (Jakarta), dilanjutkan naik
mikrolet ke Tanah Abang, dengan membawa dagangannya. Jauh dan melelahkan.
Dengan hasil dagangan berkisar 50
sampai 60 ribu rupiah per hari, nenek tersebut harus mengeluarkan biaya
transportasi Rangkas Bitung - Tanah Abang (PP) sebesar 30 ribu rupiah per
harinya. Untuk makan siang, nenek yang selalu nampak sehat itu, membawa bekal
teh manis, nasi dan lauk ala kadarnya, bahkan sering hanya dengan krupuk saja.
Hebatnya, dengan kondisi seperti itu, nenek yang sebenarnya punya beberapa anak
yang semuanya sudah bekerja -- tetapi tidak mau membebani anak-anaknya tersebut
-- justeru tidak pernah 'menjual' cerita sedih pada siapapun yang mengajaknya
bicara.
"Saya selalu ketemu nenek
itu, dan sempat ngobrol, karena lokasi dagangnya dekat tangga ATM
Mandiri," ujar Mbak Dewi Tity, yang memang rutin belanja dagangan di Tanah
Abang, untuk bisnis online-nya.
Bukannya apa, nenek itu menjadi 'istimewa' karena di area yang berdekatan
dengannya, adalah 'kavling tetap' dari pengamen buta suami-istri, 'dipandu'
anaknya yang masih muda. Serta pengemis, seorang ibu muda yang membawa bayi dan
anak usia sekitar 2 tahun. Pemandangan yang sangat kontradiktif.
Begitulah, apa yang 'diceritakan'
Mbak Dewi Tity diatas, sebenarnya juga hal biasa, yang terjadi di sekitar kita. . Tetapi, bahwa nenek tersebut tidak memanfaatkan situasi dan kondisi -- untuk mengeksploitasi rasa iba dan empati para pengunjung yang akan belanja di Tanah Abang -- seperti yang dilakukan pengamen buta dan pengemis muda, itu patut diapresiasi. Setidaknya, nenek itu masih punya 'harga diri', mencari nafkah dengan cara berdagang, sesuai kemampuannya
0 komentar:
Posting Komentar